Sunday 26 January 2014

Kisah Terbunuhnya Umar bin Al Khaththab

Ringkasnya, ketika Umar selesai melaksanakan ibadah haji pada tahun 23 H beliau sempat berdo’a kepada Allah di Abthah,mengadu kepada Allah tentang usianya yang telah senja, kekuatannya telah melemah, sementara rakyatnya tersebar luas dan ia takt tidak dapat menjalankan tugas dengan sempurna. Ia berdo’a kepada Allah agar Allah mewafatkannya dan berdo’a[1] agar Allah memberikan syahadah (mati syahid) serta dimakamkan di negeri hijrah (yaitu Madinah), sebagaimana yang terdapat dalam shahih Muslim bahwa Umar pernah berkata, “Yaa Allah, aku bermohon kepadamu mendapatkan syahadah (mati syahid) di atas jalanMu dan wafat di tanah Nabi-Mu” [2]

Maka Allah mengabulkan do’anya ini dan memberikan kedua permohonannya tersebut, yaitu mati syahid di Madinah. Ini adalah perkara yang sulit namun Allah Maha lembut kepada hamba-Nya. Akhirnya beliau ditkam oleh Abu Lu’lu’ah Fairuz-seorang yang aslinya beragama Majusi dan tinggal di Romawi-[3] ketika Umar shalat di mihrab pada waktu Subuh hari Rabu tanggal 25 zulhijjah tahun 23 H dengan belati yang memiliki dua mata. Abu Lu’lu’ah menikamnya tiga tikaman -ada yang mengatakan enam tikaman-, satu di bawah pusarnya hingga terputus urat-urat di dalam perut beliau[4] akhirnya Umar jatuh tersungkur dan menyuruh Abdurrahman bin Auf agar menggantikannya menjadi imam shalat. Kemudian orang kafir itu (Abu Lu’lu’ah) berlari ke belakang sambil menikam seluruh orang yang dilaluinya. Dalam peristiwa itu sebanyak 13 orang terluka dan 6 orang dari mereka tewas[5]. Maka segera Abdullah bin Auf[6] menangkapnya dengan melemparkan burnus (baju panjang yang memiliki penutup kepala) untuk menjeratnya, kemudian Abu Lu’lu’ah bunuh diri, semoga Allah melaknatnya. Waktu itu Umar segera dibawa ke rumahnya sementara darah mengalir deras dari luka-lukanya. Hal itu terjadi sebelum matahari terbit. Umar berkali-kali jatuh pingsan dan sadar, kemudian orang-orng mengingatkannya shalat beliau sadar sambil berkata, “Ya aku akan shalat dan tidak ada bagian dari Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Kemudian beliau shalat, setelah shalat beliau bertanya siapa yang menikamnya?” Mereka menjawab, “Abu Lu’lu’ah budak Al-Mughirah bin Syu’bah.” Beliau berkata, “Alhamdulillah yang telah menentukan kematianku di tangan seseorang yang tidak beriman dan tidak pernah sujud kepada Allah sekalipun.”

Kemudian Umar berkata, “Semoga Allah memberikan kejelekan baginya, kami telah mnyuruhnya suatu perkara yang baik. Al-Mughirah memberinya gaji sebanyak dua dirham per hari, kemudian ia menuntut Umar agar gaji budaknya itu ditambah karena budaknya memiliki banyak keahlian dan merangkap beberapa profesi, yaitu sebagai tukang kayu, pemahat dan tukang besi, maka Umar menaikkan gajinya menjadi 100 dirham perbulan. Umar berkata kepadanya, “Kami dengar bahwa irimu mampu membuat penumbuk gandum yang berputar di udara (kincir)?” Abu Lu’lu’ah menjawab, “Demi Allah aku akan memberitahukan kepadamu tentang penumbuk gandum yang akan menjadi pembicaraan manusia di timur dan barat -percakapan ini terjadi pada hari selasa di malam hari- dan ternyata dia menikamnya tepat pada hari Rabu di pagi hari pada 25 Dzulhijjah. Kemuian Umar mewasiatkan agar penggantinya yang menjadi Khalifah dimusyawarahkan oleh enam orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridha kepada merea, yaitu Ustman, Ali, Thalhah, Az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, sebab Sa’id berasal dari kabilah Umar dan dikhawatirkan kelak dirinya terpilih disebabkan kerabatannya yang dekat dengan Umar. Umar mewasiatkan kepada siapa yang akan menggantikannya untuk berbuat yang terbaik kepada seluruh manusia dengan berbagai macam tingkatan mereka.

Akhirnya Umar wafat tiga hari setelah peristiwa itu, beliau dikebumikan pada hari Ahad di awal bulan Muharram tahun 24 H dan dikebumikan di kamar Nabi di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah mendapatkan izin dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha.

Al-Waqidi rahimahullah berkata, “Aku dibetahukan oleh Abu Bakar bin Ismail bin Muhamad bin Sa’ad dari ayahnya dia berkata, ‘Umar ditikam pada hari Rabu 25 Dzulhijjah tahun 3 H. Masa kepemimpinannya selama 10 tahun 5 bulan 21 malam, sementara pelantikan Usman terjadi pada hari senin pada tanggal 3 Muharram, ketika aku sebutkan hal ini pada Utsman bin Akhnas, dia berkata, ‘Engkau keliru’. Umar wafat 25 Dzulhijjah dan Utsman dilantik pada malam terakhir di bulan Dzulhijjah. Dengan demikin dia memulai kekhlaifahannya pada awal bulan Muharram 24 H”[7]

Abu Ma’syar berkata, “Umar terbunuh pada tanggal 25 Dzulhijjah tepat dipenghujung tahun 23 H. Masa kekhalifahannya adalah 10 tahun 6 bulan 4 hari. Setelah itu Utsman dibai’at[8] menjadi khalifah.”

Ibnu Jarir berkata, “Aku diberitahukan oleh Hisyam bin Muhamad dia berkata, ‘Umar terbunuh pada tanggal 23 bulan Dzulhijjah dan masa kekhalifahannya adalah 10 tahun 6 bulan 4 hari.”[9]

Riwayat Al-Bukhari Tentang Peristiwa Terbunuhnya Umar[10]

Al-Bukhari berkata, “Kami diberitahukan oleh Musa bin Ismail, dia berkat kami diberitahukan oleh Abu ‘Awanah dari Husain bin Amru bin Maimun, dia berkata, aku pernh melihat Umar bin Al-Khaththab beberapa hari sebelum dirinya terbunuh, di Madinah sedang berbicara kepada Hudzaifah bin Al-Yaman dan Utsman bin Hunaif, ia berkata, ‘Apa yang telah kalian perbuat? Apakah kalian takut telahmembenai pajak bumi yang memberatkan dan tidk sanggup dibayar pemiliknya? ‘ Keduanya menjawab, ‘Kami membebani pajak bumi dengan sepantasnya, tidak terlalu banyak.’ Umarberkata, ‘Hendaklah kalian berdua meninjau ulang, jangan-jangan kalian telah membebani pajak bumi yang tidak sanggup dipikul oleh para pemiliknya.’ Keduanya berkata, ‘Tidak.’ Umar melanjutkan, ‘Jika Allah masih memberikan kepadaku umur yang panjang, maka aku akan tinggalkan para janda-janda di Irak dalam keadaan tidak lagi membutuhkan para pria setelah aku wafat.’”

Empat hari setelah itu beliau terbunuh. Amru bin Maimun berkata, “Pada pagi terbunuhnya Umar aku berdiri dekat sekali dengan Umar. Penghalang antara aku dan beliau hanyalah Abdullah bin Abbas. Kebiasannya jika beliau berjalan di sela-sela shaf beliau selalu berkata, ‘Luruskan!’ Setelah melihat barisan telah rapat dan lurus beliau maju dan mulai bertakbir. Pada watu itu mungkn beliau sedang membaca surat yusuf atau An-Nahl ataupun surat yang lainnya pada raka’at pertama hingga seluruh jama’ah hadir berkumpul. Ketika beliau bertakbir tiba-tiba aku mendengar beliau menjerit, ‘Aku dimakan anjing (aku ditikam).’

Ternyata beliau telah ditikam oleh seorang budak, kemudian budak kafir itu lari dengan membawa pisau belati bermata dua. Setiap kali melewati orang-orang dia menikamkan belatinya ke kanan maupun kiri sehingga menikam 13 orang kaum muslimin dan 7 di antara mereka tewas. Ketika salah seorang dari kaum muslimin melihat peristiwa itu ia melemparkan burnus (baju penutup kepala) untuk menangkapnya. Ketika budak kafir itu yakin bahwa di akan tertangkap dia langsung bunuh diri. Umar segera menarik tangan Abdurrahman dan menyuruhnya maju menjadi imam. Siapa saja yang berdiri di belakang Umar pasti akan melihat yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berada di sudut-sudut masjid mereka tidak tahu apa yang terjadi hanya saja mereka tidak lagi mendengar suara Umar, di antara mereka ada yang mengatakan,’Subhanallah.’

Maka akhirnya Abdurrahman yang menjadi imam shalat mereka dan ia sengaja memendekkan shalat. Selesai orang-orang mengerjakan shalat, Umar berkata, ‘Wahai Ibnu Abbas lihatlah siapa yang telah menikamku.’ Ibnu Abbas pergi sesaat kemudian kembali sambil berkata, ‘Pembunuhmu adalah budak milik Al-Mughirah.’ Umar bertanya ‘Budaknya yang lihai bertukang itu?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Ya.’ Umar berkata, ‘Semoga Allah membinasakannya, padahal aku telah menyuruhnya epada kebaikan, Alhamdulillah yang telah menjadikan sebab kematianku di tangan orang yang tidak beragama Isam, engkau dan ayahmu (Abbas) menginginkan agar budak-budak kafir itu banyak tinggal di Madinah.’”

Pada waktu itu Abbas yang paling banyak memiliki budak, Abbas pernah berkata kepada Umar, “Jika engkau mau budak-budak itu, akan ami bunuh.” Umar menjawab, “Engkau salah, bagaima membunuh mereka setelah mereka mulai berbicara dengan menggunakan bahasa kalan, shalat menghadap ke arah qiblat kalian dan melaksanakan haji sebagaimana kalian melaksanakannya?”

Umar segera dibaw ke rumahnya. Kami berangkat bersama-sama mengikutinya. Seolah-olah kaum muslimin tidak pernah mendapat musibah sebelumnya, ada yang berkomentar, “Lukanya tidak parah.” Dan ada juga yang berkata, “Aku khawatir ia akan tewas.” Setelah itu dibawakan kepadanya minuman nabidz dan ia meminumnya, tetapi minuman tersebut keluar dari perutnya yang ditikam. Kemudian dibawakan kepadanya susu dan ia meminumnya, namun susu tersebut tetap keluar lagi dari bekas lukanya, maka yakinlah mereka bahwa Umar tidak tertolong lagi dan ia pasti akan tewas, maka kami masuk menjenguknya, sementara orang-orang berdatangan mengucapkan pujian atas dirinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda berkata, “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan berita gembira dari Allah untukmu,engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendahulu Islam, engkau menjabat pemimpin dan engkau berlaku adil, kemudian engkau berikan Allah syahadah (mati Syahid).” Umar menjawab, “Aku berharap seluruh perkra yang engkau sebutkan tadi cukup untukku, tidak lebih ataupun kurang.” Tatkala pemuda itu berbalik ternyata pakaiannya terjulur hingga menyentuh lantai.

Umar memanggilnya dan berkata, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu sesungguhnya hal itu akan lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menaikkan ketaqwaanmu kepada Rabbmu. Wahai Abdullah bin mar lihatlah berapa utangku.” Mereka hitung dan ternyat jumalhnya lebih kurang sebanyak 86.000. Umar berkata, “ika harta keluarga Umar cukup untuk melunasinya maka bayarlah dari harta mereka, jika belum juga lunas mintalah kepada Bani Adi bin Ka’ab dan jika ternyata belum juga cukup maka mintalah kepada kaum Quraisy dan jangan minta kepada selain mereka. MAa tunaikan hutang-hutangku, berangkatlah engkau sekarang ke rumah ‘Aisyah -ummul mukminin- dan katakan, “Umar menyampaikan salam kepadanya dan jangan kau katakan salm dari Amirul Mukminin, sebab sejak hari ini aku tidak lagi menjadi Amirul Mukminin, katakan kepadanya bahwa Umar bin Al-Khaththab minta izin agar dapat dimakamkan di samping dua sahabatnya. Maka Abdullah bin Umar segera mengucapkan salam dan minta izin masuk kepada ‘Aisyah dan ternyata ia sedang duduk menangis. Abdullah bin Umar berkata, “Umar bin Al-Khaththab mengucapkan salam untukmu dan ia minta izin agar dapat dimakamkan di sisi kedua sahabatnya.” ‘Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku menginginkan agar tempat tersebut menjadi tempatku kelak jika mati, namun hari aku hars mengalah untuk Umar.”

Ketika Abdullah bin Umar kembali, maka ada yang mengatakan lihatlah Abdullah bin Umar telah datang. Umar berkata, “Angkatlah aku. Salah seorang menyandarkan Umar ke tubuh anaknya Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu.”

Umar bertanya kepadanya, “Apa berita yang engkau bawa?” Dia menjawab, “Sebagaimana yang engkau inginkan wahai Amirul Mukminin, ‘Aisyah telah mengizinkanmu.” (untuk dimakamkan di sisi dua sahabatmu). Maka Umar berkata, “Alhamdulillah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain dari itu, jika aku wafat maka bawalah jenazahku ke sana dan katakan, ‘Umar bin Al-Khaththab minta izin untuk dapat masuk, jika ia memberikan izin mak bawalah aku masuk, tetapi jika ia menolak, maka bawalah jenazahku kepemakaman kaum muslimin.’” Tiba-tiba datnglah Hafshah beserta rombongan wanita, ketika kami melihat a masuk maka kami segera berdiri menghindar, HAfshah duduk di sisinya dan menangis beberapa saat, tak berapa lama datang rombongan lelaki minta izin untuk dapat menjenguk Umar, maka segera Hafshah masuk ke dlam sambil mempersilakan rombongan lelaki menjenguk Umar. Sementara kami masih mendengar isak tangisnya di dalam.

Orang-orang berkata, “Berilah wasiat wahai Amirul Mukminin, pilihlah penggantimu!” Umar berkata, “Aku tida mendapati ada orang yang lebih berhak memegang urusan ini (menjadi khalifah) selain dari enam orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam rela atas mereka ketika wafatnya.” Umar menyebutkan nama mereka Ali, Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman. Beliau berkata, “Yang menjadi saksi kalian adalah Abdullah bin Umar dan ia tidak berhak dipilih. Jika kelak yang terpilih Sa’ad maka dia berhak untuk itu, jika tidak maka hendaklah kalian memintanya agar menunjuk siapa yang berhak di antara kalian, sebab aku tidak penah mencopotnya disebabkan dia berkhianat ataupun kelemahannya. Aku wasiatkan kepada khalifah setelahku agar memperhatikan kaum Muhajirin yang terdahulu keislamannya, hendaklah dijaga dan diperhatikan hak-hak maupun kehormatan mereka. Aku juga waiatkan kepada penggantiku kelak agar memperhatikan kaum Anshar sebaik mungin. Merekalah orang-orang yang telah menyiapkan kampung halaman beserta rumahmereka untuk menampung kaum Muhajirin dan orang-orang yang beriman. Hendaklah kebaikan mereka dhormati dan diterima dengan baik, dan kejelekan mereka hendaklah dimaafkan. Aku asiatkan kepada penggantiku untuk memperhatikan seluruh penduduk kota sebab merka adalah para penjaga Islam, pemasok harta dan pagar pelindung terhadap musuh. Janganlah diambil dari mereka kecuali kelebihan dari harta mereka dengan kerelaan hati merka. Aku wasiatkan juga kepada penggantiku kelak agar memperhatikan dengan baik orang-orang Arab pedalaman, sebab mereka adalah asalnya bangsa Arab dan personil Islam. Hendaklah dipungut dari mereka zakat binatang ternak ereka dan disalurkan kepada orang-orang yang miskin dari mereka. Aku wasiatkan juga kepada penggantiku kelak agar menjaga seluruh ahli dzimmah. Hendaklah perjanjian maupun kesepakatan dengan mereka tetap dipelihara. Dan yang diperangi itu hendaklah orang-orang kafir selain mereka (selain ahli dzimmah). Janganlah mereka dibebani dengan hal yang tidak dapat mereka pikul.”

Ketika Umar wafat maka kami keluar membawa jenazahnya menuju rumah ‘Aisyah, Abdullah bin Umar mengucapkan salam sambil berkata, “Umar bin Al-Khaththab minta izin agar dapat masuk.” ‘Aisyah menjawab, “Bawalah ia masuk. “Maka jenazah Umar dibawa masuk dan dikebumikan di tempat itu bersama kedua sahabatnya.”[11]

Umurnya Ketika Wafat

Masih diperselisihkan berapa usia Umar ketika ia wafat, dalam masalah ini terdapat sepuluh pendapat. Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan sembilan pendapat saja dengan emulai pendapat yang didahulukan oleh Ibnu Jarir dalam tarikhnya.

Ibnu Jarir berkata, “Kami diberitahukan oleh Zaid bin Akhzam ia berkata ‘Kami diberitahukan oleh Abdu Qtaibah ari Jarir bin Hazim dari Ayyub dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Umar terbunuh ketika berusia 55 tahun”, Ad-Darawardi meriwayatkan dari Ubaidullah bin Umar, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar. Demikian pula Abdur Razzaq mengatakan yang sama dari riwayat Ibnu Juraij dari Az-Zuhri, adapun Ahmad meriwayatkannya dari Hasyim dari Ali bin Zaid dari Salim bin Abdullah bin Umar.[12]

Setelah itu ia menyebutkan pendapat lain, “Diriwayatkan dari Amir As-Sya’bi, dia berpendapat, “Ketika Umar wafat ia berusia 63 tahun.”[13] Menurutku, inilah pendapat yang masyhur. Ia juga menyebutkan pendapat Al-Madaini, “Umar wafat ketika berusia 57 tahun.”[14]

sumber: Al-Bidayah Wan Nihayah ~ Ibnu Katsir. Terbitan Darul Haq.

Footnote:

[1]. Ibnu Sa’ad juga mengeluarkan semakna dengan ini dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3/335

[2]. Diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab Fadhail Madinah, bab Karahiyatu An-Nabi an Tu’ra Al-Madinah (4/100 Fathul Bari)

[3]. Ath-Thabari berkata 4/190, “Dia beragama Nasrani,” dalam jilid 4/190 dia berkata, “Abu Lu’lu’ah berasal dari Nahawand, setelah itu dia ditawan orang Romawi, setelah itu dia ditawan oleh tentara kaum muslimin.

[4]. As-Sifaq yaitu daerah sekitar pusar berupa kulit yang tipis yang terletak di bawah kulit luar dan di atas daging. (Lisanul Arab 10/203)

[5]. Dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/337 dari riwayat Husahin bin Amr bin Maimun bahwa yang terbunuh sembilan orang, dan mungkin itu adalah kekeliruan, sebab yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari hanya tujuh orang yang tewas, dan riwayat ini dari Hushain bin Amr dari Maimun

[6]. Al-Hafizh Ibn Hajarberkata dalam Fathul Bari, 7/63, “Di dalam Zail Al-Isti’ab karya Ibn Fathun dari jalan Sa’id bin Yahya Al-Umawi dengan sanadnya dia berkata, “Ketika melihat tragedi in maka salah seorang dari Muhajirin yag bernama Hatthan At-Tamimim Al-Yarbu’i melemparkan mantelnya. “Dan dikatakan bahwa riwayat ini yang paling shahih dibandingkan riwayt Ibnu Sa’ad yang memiliki sanad dha’if dan munqati’ yang menyatakan bahwa lelaki itu adlaah Abdullah bin ‘Auf yang kemudian memenggal kepalanya, dia berkata, “Jika jalan ini benar maka bisa jadi kedua orang ini sama-sama bersekutu membunuhnya.”

[7] Ath-Thabaqat Al-Kubra 3/365, Tarikh At-Thabari 4/193

[8] Atrikh Ath-Thabari 4/194

[9] Ibid

[10] Tulisan ini adalah tambahan dari naskah aslinya, sengaja kita (pentahqiq) sebutkan karena begitu pentingnya isi dalamnya dan sekaligus bersumber dari jalan yang shahih

[11] Kitab Fadhail Shahabah Bab Qissatul Bai’ah (7/59 dari Fathul Bari)

[12] Tarih Ath-Thabari 4/197

[13] Ibid 4/198, Ibnu Sa’ad menyebutkan hal yang semakna dalam Thabaqat 3/365 dari dua jalan dari Abu Ishaq As-Sabi’iy dan Amir Ibnu Sa’ad dari Jarir bahwa dia pernah mendengar Muawiyah berkata, “Umar wafat ketika berusia enam puluh tiga tahun.” Al-Waqidi berkata, “Hadits ini tidak kami ketahui pernah terdengar di Madinah, pendapatyang paling kuat menurut kami bahwa dia wafatketika berusia enam puluh tahun.” Menurutku, Isnad Ibnu Sa’ad lemah di dalamnya terdapat Hariz aula Muawiyah, berkata Al-Hafizh mengenai diri perawi ini dalam At-Taqrib no 1195. “Dia majhul (tidak dikenal) dari thabaqah ketiga”

[14] Lihat Tarikh AthThabari, 4/198 kukatakan, “Pendapat Al-Madaini sesuai dengan apa pendapat pengarang bahwa umurnya ketika masuk Islam dua puluh tujuh tahun, tepatnya enam tahun setelah Rasul diutus (27 + 7 + 23 = 57)”

Sunday 19 January 2014

Kebingungan Imam Adz Dzahabi

Dibawah ini ada beberapa nama perawi yang disepakati akan keutamaan, kekuatan hafalan, keimamam mereka dalam masalah ini - akan tetapi tidak dikeluarkan riwayatnya oleh Al Imam Al Bukhari didalam kitab shahihnya. Ini merupakan nukilan dari Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam kitab kitabnyadan merupakan terjemahan dari salah satu forum ilmiah.

Pertama : Muhammad bin Rumhi bin Al Muhaajir.

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah : 
وَأَنَا أَتَعَجَّبُ مِنَ البُخَارِيِّ كَيْفَ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ! فَهُوَ أَهْلٌ لِذَلِكَ، بَلْ هُوَ أَتقَنُ مِنْ قُتَيْبَةَ بنِ سَعِيْدٍ 
Adapun saya takjub dengan Al Bukhari - mengapa beliau tidak meriwayatkan darinya, padahal dia ( Muhammad bin Rumhi - pent ) bahkan dia adalah rawi yang paling kuat dari Qutaibah bin Sa'id." ( siyar 11/499 )

Kedua : Maymuun bin Mihraan Al Jazariy.

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
وَقَدْ خَرَّجَ أَربَابُ الكُتُبِ لِمَيْمُوْنِ بنِ مِهْرَانَ سِوَى البُخَارِيِّ، فَمَا أَدْرِي لِمَ تَرَكَهُ؟
Dan telah dikeluarkan dalam kitab kitab riwayat dari Maymuun bin Mihraan - kecuali Al Bukhari, dan saya tidak mengetahui ( dengan alasan apa - pent ) beliau meninggalkannya ? " ( Siyar 5/78 )

Ketiga : Daud bin Abiy Hind

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
داود بن أبي هند، حجة.ما أدرى لم لم يخرج له البخاري
" Daud bin Abiy Hind - hujjah, dan saya tidak mengetahui mengapa Al Bukhari tidak mengeluarkan ( riwayatnya - pent ). " ( siyar 2/11 )

Keempat : 'Asy'ats bin Abdillah

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
و أنا أتعجب كيف لم يخرج له البخاري ومسلم
" Dan saya takjub - mengapa tidak dikeluarkan ( riwayatnya - pent ) oleh Al Bukhari dan Muslim." ( Mizaanul 'Itidaal 1/266 )

Kelima : Muusa bin Abdillah Al Juhaniy Al Kuufiy

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
ما علمت فيه ليناً فلماذا لم يخرج له البخاري
Aku tidak mengetahui mengapa tidak dikeluarkan oleh Al Bukhari ( riwayatnya - pent ). " ( Taarikhul Islam 9/299 )

Keenam : Abdullah bin Muhammad bin Abdillah Abu Alqamah 

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
ما أدري لم لم يخرج البخاري له
" Aku tidak mngetahui kenapa tidak dikeluarkan oleh Al Bukhari darinya. " ( Taarikhul Islam 12/493 )

Ketujuh : Muhammad bin Humaid Abu Sufyaan

Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
لم يخرج له البخاري، بل خرج لأبي سفيان الحميري، وفيه شيء
" Tidak dikeluarkan darinya oleh Al Bukhari, bahkan Al Bukhari mengeluarkan Abu Sufyaan Al Himyari dan padanya ada sesuatu." ( Taarikhul Islam 12/489 )


Abu Asma Andre
4 Rabi'ul Awal 1435
5 Januari 2014
Komplek TNI AL Ciangsana
Griya Fajar Madani

oleh ustadz Abu Asma Andre

Saturday 18 January 2014

Hadits Maudhu'

Hadits ini dinamakan maudhu' apabila terdapat kecacatan disebabkan oleh kedustaan atas Rasulullah Shallallahu
'alaihi wassallam.

Pengertiannya

Maudhu' secara bahasa artinya sesuatu yang diletakkan. Sedangkan menurut istilah adalah:

"Sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam secara dusta".

Hadits ini adalah yang paling buruk dan jelek di antara hadits-hadits dha'if lainnya. Sebagian ulama membagi hadits  menjadi 4 bagian, yaitu shahih, hasan, dha'if dan maudhu'. Maka maudhu' menjadi satu bagian tersendiri.

Hukum meriwayatkannya

Para ulama sepakat meriwayatkan hadits maudhu' diharamkan dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu'annya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam,

"Barangsiapa yang menceritakan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta." (HR. Muslim)

Bagaimana cara mengetahui Hadits Maudhu'?

1.Pengakuan dari orang yang memalsukan hadits: Seperti pengakuan Abi 'Ishmat Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh Al-Jami', bahwasannya ia telah memalsukan hadits-hadits atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan Al Qur'an surat per surat, dan seperti pengakuan Maisarah bin Abd Rabbih Al-Farisi bahwasannya dia telah memalsukan hadits tentang keutamaan Ali sebanyak tujuh puluh hadits.

2. Apa yang diposisikan sama dengan pengakuannya: Seperti bila seseorang menyampaikan hadits dari seorang syaikh, dan hadits itu tidak diketahui kecuali dari syaikh tersebut, ketika si perawi itu ditanya tentang kelahirannya lalu menyebutkan tanggal tertentu. Setelah diteliti dari perbandingan tanggal kelahiran perawi dengan tanggal kematian sang syaikh yang diriwayatkan darinya, ternyata perawi dilahirkan sesudah kematian syaikh atau pada saat syaikh itu meninggal ia masih kecil dan tidak dapat periwayatan.

3. Adanya indikasi pada perawi yang meunjukkan akan kepalsuannya misalnya seorang perawi yang Rafidhah dan haditsnya berisi tentang keutamaan Ahlul Bait.

4. Adanya indikasi pada isi hadits, seperti isinya bertentangan dengan akal sehat atau  bertentangan dengan indra dan kenyataan atau berlawann dengan ketetapan agama yang kuat dan terang atu susunan lafazhnya lemah dan kacau.

Misalnya apa yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya secara marfu', "Bahwasannya kapal Nabi Nuh thawaf menglilingi ka'bah tujuh kali dan shalat dua rakaat di maqam Ibrahim".

Dan seperti, "Anak zina tidak masuk surga sampai tujuh keturunan", karena bertentangan dengan firman Allah,

artinya: "Dan seorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain" [QS. Al An'am: 164]

Motivasi-motivasi orang-orang Dalam melakukan Pemalsuan

1. Cerita-cerita dan nasehat

Para tukang cerita ingin menarik perhatian orang awam untuk mengajak mereka kepada kebaikan dan menghindari kemungkaran. Untuk maksud itu mereka memalsukan hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallalahu 'alaihi wassallam, dengan tujuan mencari penghidupan dan mendekatkan pad orang-orang awam dengan riwayat yang aneh, misalnya, "Barang siapa mengucapkan kalimat Laa Illaaha illa Allah, maka Allah menciptakan dari setiap kata itu seekor burung yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan," Di antara mereka adalah Maisarah bin Abdu Rabbih. Ketika ditanya, "Dari mana Anda mendapatkan hadits-hadits ini?" Dia menjawab, "Aku memalsukannya untuk menggembirakan orang"

2. Membela suatu madzhab

Khususnya madzhab kelompok politik pasca terjadinya fitnah, dan yang paling banyak melakukan kebohongan adalah kelompok Syi'ah Rafidhah. Imam Malik ketika ditanya tentang mereka, mengatakan, "Jangan mengajak bicara mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka karena mereka para pendusta." Contoh hadits buatan mereka adalah: "Aku (Muhamad) adalah timbangan ilmu, dan Ali sebagai piringan timbangannya, Asan dan Husain sebagai benang-benangnya, Fathimah pengaitnya, dan para imam sebagai tiang penimbang amalan orang-orang yang mencintai kami dan orang-orang yang membenci kami"

Dan kelompok paling jauh dari tindakan pemalsuan itu adalah Khawarij, karena mereka mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, sedangkan dusta termasuk dosa besar, apalagi dusta terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam.

3. Zindiq

Para pemimpin dan penguasa negeri yang ditaklukkan telah tunduk pada kekuasaan islam, akan tetapi mereka masih memendam rasa kedengkian di dalam hati, namun mereka tidak mampu terang-terangan memusuhinya, akhirnya mereka memalsukan hadits yang berisi kelemahan dan ejekan yang tujuannya merusak agama, seperti: "Allah telah menciptakan malaikat dari kedua bulu siku dan dada-Nya". Dan "Melihat wajah yang cantik adalah ibadah"

Dan di antara orang-orang zindiq itu adalah Abdul Karim bin ABi Al-Auja', yang dibunuh oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Abbasi gubernur Basrah. Ketika akan dibunuh Abdul Karim berkata, "Aku telah memalsukan atas kalian empat ribu hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram." Dan Bayan bin Sam'an Al-Hindiyang dibunuh oleh KHalid bin Abdillah Al-Qusairi, kemudian Muhammad bin Sa'id Al_mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja'far Al-Manshur.

4. Mendekatkan diri kepada para penguasa demi menuruti hawa nafsu

Seperti kisah ghiyats bin Ibrahim An-Nakha'i bersama AMirul Mukminin Al-Mahdi, ketika datang kepadanya dan dia sedang bermain merpati. Lalu ia menyebut hadits dengan sanadnya secara berturut-turut sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bahwasannya beliau bersabda, "Tidak ada perlombaan kecuali dalam anak panah, ketangkasan, atau menunggang kuda atau sayap." Maka dia menambahkan kata, "atau burung". Itu dilakukan untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepulu ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amri berkata, "Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Raasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam", lalu beliau memerintahkan untuk menyembelih merpati itu.

Kesalahan Sebagian Ahli Tafsir dalam neyebutkan Hadits-hadits palsu

Sebagian ulama tafsir melakukan kesalahan dengan menyebutkan hadits-hadits palsu dalam tafsir mereka tanpa menjelaskan kepalsuanya, khususnya riwayat tentang fadhilah Al-Qur'an surat per surat. Di antara mereka adalah: As-Tsa'labi, Al-Wahidi, Az-Zmakahsyari, dan Al Baidhawi.

Karya-karya dalam hadits Maudhu'

1. Al-Maudhu'at, karangan Ibnul Jauzy. Beliau termasuk paling awal yang menulis dalam ilmu ini.

2. Al-La'ali Al-Mashnu'ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu'ah, karya Asy-Syuyuthi, ringkasan kitab Al-Maudhu'at Ibnul Jauzy dengan beberapa tambahan.

3. Tanzihu Asy-Syari'ah Al-Marfu'ah 'An Al-Ahadits Asy-Syani'ah Al-Maudhu'ah, karya Ibnu 'Iraq Al-Kittani, ringkasan dari kedua kitab tersebut.

4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha'ifah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

[sumber Pengantar Studi Ilmu Hadits]

Thursday 16 January 2014

Biografi Shiddiq Hasan Khan

oleh ustadz Abu Musa Jauhari
Alangkah senangnya hati kita mempelajari biografi para ulama. Alangkah asyiknya berduaan dengan buku yang berisi tentang cerita kehidupan mereka. Kehidupan yang penuh berkah, yang hampir tak pernah kosong dari ilmu dan amal.
Ketika membaca kisah mereka, hati kita merasa ikut sedih ketika mereka berduka. Terkadang kita ikut tertawa di saat mereka berbahagia. Rasa semangat, sedih, iba, gembira, dan emosi jiwa lainnya keluar begitu saja tatkala diri kita asyik menikmati kisah kehidupan mereka.
Alur cerita mereka yang tamat dengan happy ending akan semakin membuat kita lebih semangat untuk meneladani keseharian dari kehidupan mereka. Meneladani sopan-santun mereka. Mengikuti setiap jejak langkah yang sesuai sunah. Mencontoh sifat zuhud, rendah diri, sabar, tabah, tegar, dan sederet sifat mulia mereka yang lainnya. Yang semua itu mereka petik dari sebuah lentera yang takkan pernah padam, lentera terang tempat ditimbanya ilmu agama Islam tuk pertama kalinya, yaitu lentera kenabian yang diemban dengan penuh amanat oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu banyak cerita yang dikemas sedemikian rupa oleh para ulama ahli sejarah pendahulu kita, dari yang paling ringkas hingga yang berjilid-jilid panjangnya. Dan semua itu –wal hamdulillah- bertebaran dan tersebar luas di mana-mana.
Di antara mereka ada yang menghabiskan umur untuk menuntut ilmu agama dan dakwah. Ada pula yang menghibur diri dengan berjihad di jalan Allah. Mainan mereka adalah pedang, tombak, panah, tameng dan aneka ragam perlengakapan perang lainnya. Selain dari itu, ada pula yang mengisi hari demi hari dengan berjalan hingga ribuan mil jauhnya guna menimba sebuah atau dua buah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan makan seadanya dan bekal secukupnya, ia ayunkan dan langkahkan kedua kakinya untuk berkhidmah kepada agama ini, agama Islam. Semangat mereka begitu kuat bagaikan baja, atau bahkan jauh melebihinya.
Sehari dua hari tentu takkan cukup untuk meriwayatkan kisah mulia mereka, apalagi hanya dengan beberapa lembar kertas saja. Namun, dengan menceriterakan salah satu dari biografi mereka dalam secarik kertas ini, tentu saja ada faedahnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ ِلأُولِيْ الأَلْبَابِ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (QS. Yusuf: 111)
Bertolak dari ayat di atas, kami akan persembahkan di sini kisah salah satu tokoh, ulama,mujaddid (pembaharu) Islam India abad 13 H, penulis aktif yang tenar di penjuru cakrawala dunia dengan nama Shiddiq Hasan Khan rahimahullah. Marilah kita menyimak biografi singkat beliau. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita. Amin.
Nama & Nasab
Beliau adalah Syaikh, al-Imam, al-’Allamah, penghidup Sunnah, penumpas bid’ah, Abu ath-Thayyib Shiddiq Hasan bin Ali bin Luthfillah al-Husaini al-Bukhari al-Qinnauji, yang lebih akrab disebut dengan Shiddiq Hasan Khan rahimahullah. Ada juga yang menyebut beliau dengan nama Muhammad Shiddiq Hasan Khan. Apabila terus diurut, maka nasab beliau akan sampai kepada Zainal Abidin bin Ali bin al Husain buah hati Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu.
Kelahiran & Pertumbuhan
Lahir pada waktu dhuha, tanggal 17 Jumadil Ula tahun 1248 H, di sebuah negeri yang bernama Brili, tempat tinggal kakek dari pihak ibunya. Kemudian keluarga beliau pindah ke sebuah negeri yang bernama Qinnauj, kampung halaman para kakeknya. Di sanalah ia tumbuh berkembang dalam didikan dan buaian ibunya. Ayahnya wafat tatkala umurnya menginjak enam tahun. Untuk selanjutnya sang ibu tercinta mendidiknya dalam keadaan yatim. Dan demikian seterusnya ia tumbuh dalam lingkungan yang terjaga, bersih, dan cinta akan ilmu dan para ulama.
Sejarah Singkat Perjalanan Hidup
Hingga akhirnya Syaikh rahimahullah pergi meninggalkan kampung halamannya untuk merantau menuju kota Dehli demi meneruskan pendidikannya di sana.
Pada tahun 1285 H Allah mudahkan jalan baginya untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan para ulama ahlu sunnah wal jamaah.  Diantaranya adalah Syaikh al-’Allamah Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘Atiq bin Rasyid rahimahullah(wafat tahun 1301 H), pengarang kitab Fathul Bayan.
Syaikh Hamd memberikan sebuah nasehat emas untuknya. Selain berisi nasehat, di dalamnya beliau utarakan persaksiannya akan keilmuan Syaikh Muhammad dan kebiasaannya dalam meneliti kitab-kitab. Syaikh Hamd juga menganjurkan kepadanya untuk menuai faedah dari kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyimrahimahumallah, seperti kitab Dar-u Ta’arudh al-’Aql wa an-Naqlal-Kafiyah asy-Syafiyah -an Nuniyyah-, at-Tis’iniyyahash-Shawa-iq al-Mursalah ‘Ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’aththilah,Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah dan kitab-kitab mereka yang lain.
Setelah itu, tepatnya pada tahun 1289 H, Syaikh Shiddiq mulai mengarang sebuah risalah yang ia beri judul Qathfu ats-Tsamar Fi Bayani Aqidah Ahli al-Atsar. Ia sangat merasakan manfaat dari nasehat yang diutarakan oleh Syaikh Hamd bin ‘Atiq, sehingga beliau begitu perhatian dan tekun dalam mengkaji kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim. Tanpa kenal lelah ia menciduk ilmu dari kitab-kitab mereka berdua, juga dari kitab-kitab ulama ahlu sunnah yang lain. Tidak sebatas itu saja, Syaikh juga menganjurkan orang lain untuk membaca kitab-kitab tersebut, sebagaimana hal itu dapat di lihat dalam kitabnya yang berjudul ar-Risalah, hal 48. Selain risalah di atas, Syaikh juga menulis sebuah kitab yang berjudul Qashdus Sabil Fi Dzammil Kalam wa at-Ta’wil.
Adalah kegemaran Syaikh Shiddiq adalah mengumpulkan kitab-kitab. Ia juga memiliki pemahaman yang lebih dalam membaca dan memetik faedah dari kitab-kitab tersebut, terutama dalam bidang ilmu tafsir, hadis, dan ushul.
Setelah sekian waktu berlalu, tepatnya setelah kembali dari kota Hijaz  menuju India, beliau pindah dari Qinnauj menuju Bahubali, sebuah kota yang terletak di pertengahan kota India. Di antara salah satu tujuan perpindahan Syaikh ke kota tersebut ialah, untuk mencari pekerjaan dan mata pencaharian demi menjaga kelangsungan hidup sementara di dunia yang fana ini.
Pernikahan Membawa Berkah
Pucuk dicinta ulampun tiba, begitulah pepatah berkata. Ternyata di kota barunya, Bahubali, beliau rahimahullah bertemu dengan seorang gadis dambaan. Kursi pelaminan pun menjadi tempat peristirahatan sementara. Syaikh rahimahullah menikah dengan seorang gadis yang merupakan Ratu negeri Bahubali, yaitu Ratu Syah Jihan Bijum yang menduduki tahta pemerintahan kota Bahubali pada tahun 1288 H. Walhasil beliau mendapatkan kehidupan yang serba berkecukupan. Dan pada waktu itu ia ditunjuk untuk menjabat sebagai menteri. Oleh karena itu Syaikh dijuluki an-Nawwab yang berarti sang wakil.
Guru & Murid
Sebagaimana perjalanan hidup ulama lain, beliau rahimahullah juga menimba ilmu agama Islam dari banyak guru dan masyayikh. Di antara mereka ada yang berasal dari kota Dehli India, Hijaz, dan ada pula yang berasal dari kota Yaman. Berikut ini nama sebagian ulama yang pernah disinggahi dan ditimba ilmunya oleh beliau:
  1. Al-’Allamah Ahmad bin Hasan bin Ali, ia adalah kakak kandung beliau sendiri.
  2. Syaikh Muhammad Shadruddin Khan ad-Dahlawi, seorang mufti kota Dehli.
  3. Syaikh Muhammad Ya’qub, yang akhirnya hijrah ke kota Mekkah.
  4. Syaikh al-Qadhi Husain bin Muhsin as-Sab’ie al-Anshari al-Yamani, murid al-’AllamahMuhammad Nashiruddin al-Hazimi yang merupakan murid dari al-Qadhi Muhammad bin Ali asy-Syaukani.
  5. Syaikh Abdul Haq bin Fadhl al-Hindi, juga murid al-Imam asy-Syaukani.
Yang menimba ilmu dari beliau tidak kalah jumlahnya dengan murid-murid ulama lain. Namun yang paling masyhur dari mereka hanya dua orang, keduanya adalah:
  1. Al-’Allamah, ahli hadits Yahya bin Muhammad bin Ahmad bin Hasan al-Hazimi, hakim kota ‘Adn.
  2. Syaikh, al-’Allamah Nu’man Khairuddin al-Alusi, yang merupakan mufti kota Baghdad.
Akidah & Pemahaman
Syaikh Siddiq rahimahullah begitu antusias dengan dakwah suci, dakwah kepada al-Quran dan as-Sunnah, amat sangat membenci taklid dan kolot, begitu gemar memerangi syirik, khurafat dan bid’ah sebagaimana yang ditunjukkan oleh biografi dan karangan-karangannya. Cukup menjadi saksi akan ini semua kitab agung hasil goresan pena beliau yang berjudul ad-Din al-Khalish yang berarti agama yang murni.
Di kitab tersebut beliau menyebutkan dan menjelaskan tentang tauhid dengan panjang lebar, sebagaimana beliau juga menerangkan tentang kesyirikan dengan pembahasan yang begitu terperinci. Sebagai contoh akan hal itu, perkataan beliau tentang surat al-Fatihah. Beliau bertutur: “Ketahuilah, bahwasanya Fatihah al-Quranul mulia yang diulang-ulang hingga berkali-kali oleh seorang muslim pada setiap shalat, yang senantiasa dibaca oleh para qari’ kitab Allah dan pelajar, padanya terdapat petunjuk untuk mengikhlaskan tauhid (hanya kepada Allah semata) pada tiga puluh tempat.”  Kemudian beliau merinci tiga puluh poin tersebut satu demi satu.
Ringkasnya, beliau rahimahullah berjalan sesuai pemahaman ahlu sunnah wal jamaah, baik secara akidah, ushul, hadits, maupun fikih.
Sifat & Sanjungan
Syaikh Shiddiq merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dalam hal ilmu, akhlak mulia, dan komitmen dengan al-Quran dan as-Sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala telah melapangkan baginya harta dan kedudukan untuk berkhidmah kepada agama Islam, guna menyebarkan ilmu hadits dan dakwah kepada akidah shahihah dan beramal sesuai dengan al Quran dan as Sunnah. Berkidmah kepada agama demi menolong para ulama dan sastrawan dan mengisi perpustakaan dengan kitab-kitab berharga. Beliau pernah mencetak kitab Fathul BariTafsir Ibnu Katsir, dan Nailul Authar di India, Mesir, dan Turki dengan harta yang ia miliki. Kemudian beliau membagi-bagikannya secara cuma-cuma alias gratis -Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan-. Ia juga mengerahkan sebagian hartanya untuk menolong para ulama dan menganjurkan kepada mereka untuk menerjemahkan kitab-kitab hadits ke dalam bahasa induk yang ada di India untuk selanjutnya dicetak, itu pun juga dengan harta yang ia miliki.
Karena sifat dan kecintaan beliau dengan ilmu agama, akhirnya al-’Allamah Basyir as-Sahsawani, pengarang kitab Shiyanatul Insan (wafat th. 1295 H), mengudang beliau dan menyerahkan kepadanya kepemimpinan sekolah-sekolah agama di kota Bahubali.
Adapun dalam hal pujian dan sanjungan, cukuplah kitab-kitab beliau yang begitu berharga menjadi saksi yang memujinya. Kitab-kitab dalam bermacam-macam disiplin ilmu. Juga cukup bagi sidang pembaca sanjungan seorang ulama yang hidup sezaman dengan beliau, yaitu al-’Allamah Syaikh Hamd bin ‘Atiq dalam sebuah tulisan yang ia kirimkan kepada beliau. Syaikh Hamd menuturkan, bahwasanya Syaikh Siddiq Hasan Khan adalah saudaraku yang jujur, memiliki pemahaman yang kokoh dan metode yang lurus. Juga persaksiannya kepada beliau, bahwasanya beliau kuat dalam ilmu-ilmu alat, berwawasan luas, dan pujian-pujian lain yang ia alamatkan kepada seorang Imam yang agung ini.
Tatkala tulisan dan karya Syaikh tersebar luas ke penjuru dunia, para ulama, pakar tafsir, dan ahli hadits menulis risalah-risalah yang berisi sanjungan akan karyanya tersebut. Dan tak lupa mereka mendoakan untuknya dengan kebaikan dunia dan akhirat. Semoga Allah menerima doa mereka dan mengabulkan niat baik Syaikh Muhammad.
Adalah al-’Allamah Syaikh Abdulhay al-Laknawi rahimahullah, salah seorang tokoh ulama besar yang sezaman dengan beliau, ia sering membantah dan mengkritik Syaikh Shiddiq dalam risalah dan kitab yang ditulisnya, baik dengan isyarat maupun secara terang-terangan. Namun, ketika Syaikh mendengar kabar kematian Syaikh al-Laknawi, ia malah mendoakan rahmat untuknya. As-Sayyid Ali Hasan, putra Syaikh bertutur: “Tatkala berita kematian al-’Allamah Abdulhay bin Abdulhalim al-Laknawi sampai kepada ayahku, Syaikh meletakkan tangannya ke dahi. Sejenak ia menundukkan kepala lalu mengangkatnya kembali dengan air mata berlinang di pipinya. Ia mendoakan kebaikan dan rahmat untuk Syaikh al-Laknawi dan berkata: “Hari ini, matahari ilmu telah tenggelam.” Ia melanjutkan: “Sesungguhnya perselisihan yang terjadi di antara kami hanya sebatas penelitian beberapa permasalahan saja.” Dan Syaikh tidak mau makan pada malam berkabungnya itu.
Karya-karya
Beliau memiliki karya-karya dan tulisan-tulisan yang luar biasa, yang mana ia sanggup menulis beberapa kitab dalam sehari. Bahkan beliau mampu merampungkan kitab-kitab besar dalam hitungan beberapa hari saja. Kitab yang dikarang beliau telah tersebar luas ke penjuru dunia Islam. Begitu banyak ulama menulis risalah pujian teruntuk beliau dan memasukkan dirinya ke dalam golongan ulama mujaddidin.
Syaikh memiliki karangan yang begitu banyak dengan bahasa pengatar yang beraneka ragam dan dalam cabang ilmu yang beraneka ragam pula. Semua itu beliau utarakan dalam sebuah kitab yang biografi tentang dirinya, Abjad al Ulum juz 3, hal. 275-279. Dan yang kita maksudkan di sini adalah karangan beliau yang berbahasa arab. Selain kitab yang berbahasa arab, beliau juga memiliki karangan-karangan berbahasa India, Persia, dan Ordo. Ada yang menyebutkan karangan beliau mencapai 222 kitab dengan bahasa pengantar bahasa Arab, Persia dan Ordo.
DR. Jamil Ahmad menyebutkan dalam kitabnya Harakatut Ta’lif Billughotil Arobiyyah Fil Iqlim asy-Syarqi Fil Qarnain ats-Tsamin ‘Asyara wa at-Tasi’ ‘Asyara, hal. 274-281: Karangan Shiddiq Hasan Khan terbagi menjadi tiga bagian: 1). Yang sudah dicetak dan disebar luaskan. 2). Yang masih dalam keadaan manuskrip. 3). Sisanya belum diketahui keberadaannya.
Ia melanjutkan: Adapun kitab-kitabnya yang telah dicetak, ialah:
  • Fat-hul Mubin fi Maqashid al-Quran, cet. percetakan besar al Amiriyyah, Kairo, Th. 1302 – 1300 H, cetakan pertama di Bahubali.
  • Nailul Maram min Tafsir Ayatil Ahkam, Lakhano, Th. 1392 H. cet. al madani, Mesir, Th. 1382 H. – 1962 M.
  • ad-Dinul al-Khalish, Dehli, Cet. al madani, Mesir, TH. 1379 H. – 1959 M. Pada kitab ini beliau mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid yang ada di al Quran, beliau tidak meninggalkan satu ayatpun melainkan mendatangkan sebuah penjelasan yang amat mencukupi.
  • Husnul Uswah Bi Ma Tsabata Anillah wa Rasulihi fin-Niswah, al Jawa-ib Th. 1301 M.
  • ‘Aunul Bari Bi Halli Adillatil Bukhari (Syarh Kitabut Tajrid), cet. Bahubali.
  • as-Sirajul Wahhaj Fi Kasyfi Mathalibi Shahih Muslim bin al-Hajjaj, cet. Bahubali, Th. 1302 H.
  • Arba’una Hadits Fi Fadha-il al-Hajj wa al-’Umrah, cet. Bahubali.
  • Arba’una Hadits Mutawatiroh, cet. Bahubali.
  • al-’Ibrah Bi ma Ja-a Fil Ghazwi wasy-Syahadah wal-Hijrah, cet. Bahubali, Th. 1294 H.
  • al-Hirzul Maknun Min Lafzhil Ma’shum al-Ma’mun, cet. Bahubali.
  • ar-Rahmah al-Muhdaat Ila Man Yuridu Ziyadatal Ilmu ‘Ala Ahadits al-Misykaat, cet. Delhi
  • al-Jannah fil Uswah al-Hasanah bis-Sunnah, cet. Bahubali Th. 1295 H.
  • Yaqzhatu Ulil I’tibar Mimma Waroda Fi Dzikri an-Nar wa Ash-habin Nar, cet. Bahubali, Th. 1294 H.
  • al-Hiththah Fi Dzikri ash-Shihah as-Sittah, dicetak Th. 1283 H.
  • al-Mawa-id al ‘Awa-id Min ‘Uyunil Akhbar wal Fawa-id, cet. Bahubali, Th. 1298 H.
  • ar-Raudhah an-Nadiyyah Syarh ad-Durorul Bahiyyah, cet. Mesir Th. 1296 H
  • Abjadul ‘Ulum, cet. Bahubali, Th. 1296 H.
  • Dan kitab-kitab beliau yang lain yang masih begitu banyak.
Adapun kitab yang masih dalam bentuk manuskrip yaitu: Rabi’ul AdabTak-hilul ‘Uyun Bi Ta’arif al-’Ulum wal-FununIhya al-mayyit Bi Dzikri Manaqib Ahlil-Baitat Tahdzib Syarh at-Tahdzib fil-Manthiq.
Sedangkan kitab-kitab beliau yang belum diketahui keberadaannya ialah: Khalashotul KasysyafMilakus Sa’adahal-Liwa’ al-Ma’qud Li Tauhid ar-Rabb al-Ma’budan-Nadzir al-’Uryan Min Darpkatil Mizanar-Raudh al-BassamHidayatus Sa-il Ila Adillatil Masa-il, danRiaydhul Jannah Fi Tarojum Ahlis Sunnah.
Wafat
Dunia menangis, alam berkabung, kaum muslimin bersedih dan berduka, kepala mereka pun tertunduk tatkala mendengar kematian seorang ulama, al ‘Allamah, Syaikh Shiddiq Hasan Khan. Tepatnya pada tahun 1307 H setelah menghabiskan umur yang penuh berkah untuk berkhidmah kepada agama Islam selama 59 tahun.
Syaikh meninggalkan dua orang putra: as Sayyid Abul Khair Mir Nurul Hasan Khan ath-Thayyib, sebagai putra pertama, dan as-Sayyid asy-Syarif Abu an-Nashr Mir Ali Hasan Khan ath-Thahir, adiknya.
Semoga Allah senantiasa merahmati Syaikh, mengekalkan beliau di surga-Nya kelak, menggantikan segala daya, upaya, usaha, dan tenaga yang telah ia kerahkan demi agama Islam selama hidupnya di dunia dengan kenikmatan yang jauh lebih baik di surga. Semoga Allah juga menumbuhkan bala tentara-Nya di bumi, para ulama Rabbaniyyun yang menghidupkan sunnah Nabi-Nya, menumpas bid’ah, memberantas kesyirikan, memerangikhurofat, dan mengajak manusia kepada ajaran Islam yang murni yang sesuai dengan pemahaman generasi salaf umat ini. Terakhir, semoga Allah mengumpulkan kita bersama para ulama Rabbaniyyin di surga-Nya di kemudian hari. Amin ya Rabbal ‘Alamin.